Selasa, 24 Februari 2009

Asal usul Tionghoa Padang

Cina di 1930-an. Pemindahan pedagang dari bagian utara ke selatan terjadi secara besar-besaran. Kaisar Cina saat itu, Tsi Huang Thi, memakarsai pemindahan. Dalam buku Lord of The Rims (Taipan dari Pesisir) karangan Sterling Seagrave, disebutkan empat alasan Kaisar yang berhasil menyatukan daratan Cina itu melakukan tindakan tersebut. Pertama, Tsi takut dengan ilmu suap bapak kandungnya, Perdana Menteri Lu Pei Wei, ikut menyebar pada pedagang yang merupakan pendukung bapaknya. Seperti dikatakan buku tersebut, Tsi adalah anak hubungan gelap antara Perdana Menteri Lu Pei Wei dengan selir Kaisar. Lu menaruh gundik yang sudah hamil menjadi selir Kaisar.

Ketika Tsi baru berumur 10 tahun ia diangkat jadi Kaisar. Lu menjadi Perdana Menteri selama 10 tahun. Dan satu-satunya perdana menteri dari gologan pedagang selama sejarah Cina.

Alasan kedua, Cina Utara terkenal dengan pertanian. Jadi tindakan itu merupakan pembersihan terhadap kaum pedagang. Kemudian, kaisar ingin menumbuhkembangkan populasi orang Cina di Selatan. Alasan terakhir berkaitan dengan pandangan kaum orthodok Confucianisme yang ternyata memandang rendah kaum pedagang, menempatkan kaum pedagang dibawah petani: dengan logika, petani paling tidak masih menghasilkan padi, sedangkan kaum pedagang tidak menghasilkan apa-apa. Kaisar memerintahkan pemindahan kaum pedagang (dan teman-temannya) secara besar-besaran ke daerah selatan yaitu (Fu Jian, Kwang-Tong).

Kaum inilah yang kemudian menyebar ke seluruh dunia yang diperkirakan mencapai 55 juta orang. Empat persen dari jumlah total seluruh penduduk negeri yang juga dikenal dengan sebutan Tiongkok.

Namun, penyebaran itu merupakan invansi ketiga masyarakat Cina menuju dunia. Gelombang pertama dilakukan oleh Zheng He (Cheng Ho) sekitar enam ratus
tahun yang lalu (National Geographic). Laksamana yang diketahui belakangan beragama Islam, membawa pasukannya menelusuri daerah-daerah selatan. Buku-buku pelajaran sejarah menyebut ia sempat singgah di Jawa dan membuat perjanjian dengan raja dan penduduk setempat.

Penyebaran kedua terjadi saat perang opium melanda Cina pada 1840. Dinasti Qing yang berkuasa mencoba menghentikan opium. Tapi, karena Inggris melihat potensi besar pada perdagangan ini, mereka malah mengirimkan kapal perang sebagai jawaban. Cina kalah dan ditandanganilah perjanjian membolehkan Inggris berdagang candu dan menyerahkan Hongkong dalam pangkuan Ratu Inggris.

Banyak masyarakat Cina yang melarikan diri dari keadaan sengkarut yang melanda negerinya. Mereka menyebar ke daerah asia bagian selatan termasuk asia tenggara. Inilah awal mula teori orang Cina memasuki kawasan Sumatra Barat.

Sudarma, tetua di sana membenarkan hal itu. "Saya memang kelahiran Padang. Sudah setengah abad di Padang. Kakek saya punya orang tua, yang disebut kongconya sudah di Padang. Ibu saya punya orang tua itu dari Tiongkok asli. Jadi umur 12 tahun dia ikut orang tuanya ke Indonesia. Sebenarnya tujuannya bukan ke Indonesia. Tujuannya itu mungkin ke Filipina. Tapi karena diserang badai, terdampar di Bagan Si Api Api. Nah, terus berjalan, akhirnya sampai di Padang, menetap di Padang," ceritanya.

Bisa jadi, orang tua Sudarma merupakan penduduk yang datang pada gelombang kedua. Kebenaran fakta itu bisa diperkuat dengan umur Kelenteng See Hin Kiong yang terletak di Kampung Cina. Dick Halim (80), tetua kaum Cina memperkirakan klenteng dibangun pada sebelum tahun 1860. Bisa jadi karena menurut catatan Erniawati, dosen Universitas Negeri Padang yang juga peneliti masyarakat Cina di Ranah Minang, klenteng pernah terbakar pada 1861. Seorang Mayor Cina yang diangkat oleh Belanda sampai mendatangkan pekerja-pekerja dari Cina untuk kembali membangun rumah suci itu. “Orang Islam kemana pergi juga mencari masjid, kan?” ujar Erniwati.
Teori lain mengatakan Cina Padang berasal dari Pariaman. Ernawati, yang menulis buku Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat, memperkirakan Orang Cina sudah berada di Pariaman pada abad 13. Saat Aceh masuk ke Pariaman.

Tidak mengherankan sebenarnya. Pariaman adalah surga bagi kaum pedagang di zaman itu. Pariaman menjadi pusat dagang di pesisir. Tak heran, pada 1630, Christine Dobbin, penulis buku Gejolak ekonomi dan Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847, memperkirakan perkampungan Cina sudah ada di Pariaman.
Sayang, sebuah peristiwa mengenaskan menjadi pemicu hengkangnya orang Cina dari Pariaman. Pada masa pendudukan Jepang, seorang Cina membawa dua anak gadisnya ke kantor Jepang. Penglihatan itu ditanggap lain oleh para pemuda yang kebetulan melihatnya. Bisik-bisik pengkhianat merebak segera. Dua anak gadis itu langsung di bawa ke pantai dan dibelek dengan kangso (alat yang terbuat dari alumunium).
Menurut Erniwati, serangan itu dilakukan tanpa perencanaan. Makanya, alat yang disiapkan bukan senjata tajam biasanya untuk membunuh. “Lagi pula, itu hukuman bagi pengkhianat. Tidak orang Cina saja yang merasakan hukuman itu, pemuka masyarakat yang juga ikut menjadi mata-mata Jepang, mendapat hukuman yang sama.,” ujar sarjana S-2 jurusan Sejarah UNP ini.

Ketakutan merayapi masyarakat Cina. Berangsur-angsur mereka mulai meninggalkan Pariaman. Sampai 1965 beberapa orang Cina masih berdiam di sana. Tapi, memasuki 1967 agak sulit menemukan kaum bermata sipit di Pariaman. “Karena kejadian PKI atau PRRI,” terang Erniawati. Perlahan orang Cina berangur pindah ke Padang. Tepatnya, di kawasan pondok saat ini.

Namun, alasan ekonomi bisa juga dijadikan dasar. Pariaman tidak lagi dianggap ladang yang subur bagi perdagangan mendekati abad ke 19. Sehingga tidak saja pedagang Cina yang meninggalkan, tapi juga pedagang dari daerah lain.

Etika Dagang Landasan Hubungan Minang-Cina
Diperkirakan, ada 12 ribu masyarakat Cina tinggal di Padang. Beratus-ratus marga atau suku yang mendiami. Tapi, hanya delapan suku yang punya rumah pertemuan. Kedelapannya adalah suku Gho, Lie-Kwee, Tan, Ong, Tjoa-Kwa, Lim Hwang dan Kho. Marga Kho merupakan marga terakhir yang membangun rumah pertemuan. “Marga yang lain sedikit jumlahnya. Jadi tidak membangun rumah pertemuan,” ujar Hanura Rusli dari Keluarga Lie-Kwee. Lie-Kwee saat ini mempunyai anggota 600 orang. Semuanya berumur di atas 17 tahun.

Sesuai namanya, rumah pertemuan memang digunakan untuk mengadakan acara-acara yang melibatkan satu keluarga. Misalnya pada Imlek (tahun baru Cina), Cap Go Meh (hari ke 15 dari perayaan imlek), Kio, Sipasan atau Pek Chun (hari raya yang memperingati puncak musim panas). Bahkan, pada ulang tahun ke 140, keluarga Lie-Kwee berencana mengundang seluruh suku Lie-Kwee yang berada di Indonesia. “Tapi, itu tiga tahun lagi,” ujar Lie Kian Guan sekretaris sekretaris himpunan keluarga Lie-Kwee.
Kekerabatan memang menjadi nomor satu bagi orang Cina. Dan seperti “adat” orang Asia Tengah (Jepang dan Korea), mereka sangat menjaga martabat keluarga. Apabila memalukan, bunuh diri atau dibuang dari keluarga merupakan hukuman yang pantas. “Di Medan, misalnya banyak yang tidak lagi diakui keluarga, sampai-sampai dibuatkan iklannya di koran, karena mencoreng aib keluarga besar, “ terang Hanura.

Mereka sangat menghormati leluhur. Ini merupakan sikap dasar bagi orang Cina. “Ini dipengaruhi oleh ajaran Confunsius dan Tao yang melekat pada setiap orang Cina,’ ujar Erniwati.

Satu lagi sikap orang Cina adalah sering melakukan pendekatan kepada penguasa. Di zaman Belanda mereka dianggap warga kelas dua. Sedangkan pribumi kelas tiga. Begitu juga di zaman jepang dan Soekarno. Mereka mendapatkan kesempatan yang tidak dimiliki banyak orang bahkan pribumi sekalipun.

Hanya di zaman Soeharto, keran kebebasan orang Cina berdagang sedikit dibatasi dalam pandangan mata masyarakat. Sebab, beberapa orangCina menjadi pengusaha sukses seperti Liem Sio Liong (???), pemilik Bank BCA.

Pada zaman Belanda dan Soekarno mereka ditempatkan dengan satu tujuan, ekonomi. Belanda memukimkan mereka bersama kawasan Belanda, seperti di kawasan Kampuang Cino agar bisa diawasi dalam mengawasi perdagangan mereka. Begitu juga Soekarno, mereka di ‘bekap” dalam satu tempat dan hanya dibolehkan berdagang.

Hal ini, menurut Hanura, ada untung ruginya. Pada satu sisi mereka tercukupi secara ekonomi, tapi di sisi lain mereka tidak bisa memberikan sumbangan dalam bidang lain. “Berapa orang PNS yang keturunan Cina?” tanyanya.

Kecemburuan pun menguasai pribumi melihat keberhasilan mereka dalam berdagang. Tak heran, apabila ada kerusuhan, orang Cina jadi sasaran seperti peristiwa 1998. “Padahal tidak semua orang Cina kaya. Lihatlah di pasar Tanah Kongsi,” kata Hanura.
Namun, di Padang benturan keras antar etnis Minang dan Cina tidak terjadi atau tidak sebesar kota lain. Menurut Erniwati, hubungan unik terjadi antara keduanya.
Sebagai sesama suku yang kuat berdagang dan punya budaya serta religi yang kuat, mestinya benturan sering terjadi. “Sepertinya, etika dagang membuat keduanya saling menghormati,” terang Erniwati.

Etika dagang yang membuat kedua suku berada dalam posisi teman. Sepertinya wilayah dagang dibagi dua saja. Dagang tingkat nasional dikuasai orang Minang serta untuk wilayah internasional, Cina lah yang menjadi penguasa.

99% tak Bisa Bahasa Cina
Lepas dari masa Soeharto, orang Cina menjadi lebih leluasa. Tekanan pemerintah jauh berkurang. Orang Cina lebih dibebaskan dalam menjalankan ibadah dan budaya. Tak heran Imlek atau Cap Go Meh terasa lebih meriah dari tahun ke tahun. “Yang paling menarik itu acara Sipasan. Pada Cap Go Meh kali ini pertunjukan Sipasan akan berlangsung paling meriah karena Sipasan panjang, “ tutur Xin Xui yang berdagang di depan HBT.

Meski begitu, alkulturasi diam-diam telah berlangsung. Jauh sebelum orang Cina menarik nafas lebih lega.

‘Buktinya, 99% orang Cina yang tinggal di sini tidak bisa lagi bahasa Cina,” kata Hanura. Jarak yang jauh dari tanah nenek moyang, serta memori yang terbatas membuat pelan-pelan budaya Cina mulai terlupakan. Banyak penduduk di Pecinan Padang terkaget-kaget ketika Erniwati menyebutkan tradisi-tradisi Cina yang sama sekali tidak pernah didengar. Bahasa yang dimunculkan pun terkesan lucu. Pasar Tanah Kongsi bisa jadi saksi alkulturasi bahasa. Jika berada di sana, bahasa Melayu-Tionghoa terdengar di sana-sini. Pigi mana lu (mau kemana), kecik telok gedang (air kecil telur besar, sejenis ungkapan), nya ndak mau o (ia tidak mau), misalnya.
Untuk menipiskan jarak, upacara-upacara, peringatan-peringatan keagamaan diusahakan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya. Walau untuk itu hanya menuliskan huruf-huruf Cina tanpa mengerti artinya. “Ndak tau ambo, do,” kata Hanura ketika ditanya maksud tulisan yang tertera di lampion.

Saat diwawancarai Hanura sedang mempersiapkan acara perarakan kio pada kamis (5/2) lalu. Sebuah acara berbau mistis seperti dabuih di Pesisir. Tujuannya pada leluhur. Kio diarak menuju rumah-rumah marga yang lain. “Untuk silaturahmi,” ujar Arif Rusdi Rusli, Jiko (wakil) dari keluarga Lie dan Kwee.

Selain itu, Sipasan menjadi kesenian unik di Kampung Cina. Bahkan menurut Hanura, kesenian tidak dijumpai di pecinan lain di Indonesia.

Sewaktu hari Ibu, masyarakat Cina mengadakan lomba unik. Lomba memakai baju marapulai minangkabau. Beragam pula variasinya. Ada pakaian pengantin Sawahlunto, Bukittinggi, Payakumbuh,” ujar Hanura yang kebetulan mendapat pakaian pengantin dari Padang.

Dari situ juga ia baru tahu bahwa secara budaya ada persamaan yang sangat kentara antara budaya Minang dengan Cina. “Terutama pakaian pengantin. Dan kata telong dalam sebuah pantun punya kemiripan dengan tenglong (lampion).”
Erniwati membenarkan kemiripan itu walau menyebut hal ini agak sensitif untuk masyarakat Minang.

Perubahan lain yang nampak adalah orang Cina sekarang tidak lagi tertutup untuk menerima anggota dari luar etnis. Bahkan, banyak pemain liong atau barongsai berkulit coklat. “Bahkan ada yang Islam,” terang Hanura.

Tak heran kalau ada acara barongsai, tidak semua pemainnya berkulit kuning. Mata belo juga muncul begitu kepala bermunculan dari balik barongsai.
Tidak bisa diraba kapan “musim semi” ini akan berakhir. Erniwati yakin bahwa masyarakat Cina di Padang tidak akan mendapat gangguan secara politis dan tekanan yang berlebihan dari etnis Minangkabau.

sejarah cina padang


Budaya

Membaur Hingga Tak Fasih Bahasa Mandarin - Tionghoa di Padang
Oleh : Redaksi-kabarindonesia

Di salah satu sudut Kota Padang, Sumatera Barat, berdiri kawasan bangunan tua peninggalan zaman kolonial Belanda. Kawasan itu banyak dihuni warga keturunan Tionghoa yang hidup rukun dan membaur dengan warga setempat. Namun, kawasan yang berpotensi menjadi obyek wisata itu tak terurus baik. Anto Sidharta menelusuri kehidupan di sana beberapa waktu lalu.

Klenteng See Hin Kiong
Cericit suara kelelawar terdengar pada dua gedung tua bertingkat yang bercat putih. Bangunan itu mengapit sebuah klenteng tua berarsitektur Cina Selatan yang berusia 200 tahun lebih. Suara kelelawar itu biasa terdengar di kawasan kota tua Padang, ibukota Propinsi Sumatera Barat. Bangunan-bangunan peninggalan zaman Belanda itu tegak di sepanjang pelabuhan Batang Arau, yang sempat penting hingga akhir abad ke-19. Di sinilah bermukin warga keturunan Tionghoa Padang.

Salah satu bangunan bersejarah adalah Klenteng See Hin Kiong, tempat warga Tionghoa penganut Konghucu dan Budha berdoa.

Cian, penjaga kelenteng. Cian: "Hari-hari 15 bulan Cina, mereka sembahyang mengambil apa mereka. Mereka bentuk seperti kelenteng ini dari pertama bukan begini. Mereka kumpul dalam tujuh suku mereka bentuk dalam wadah-wadah ini dalam satu ketua.

Kelenteng See Hin Kiong tak terpisahkan dari sejarah orang Tionghoa Padang. Dick Halim yang kini berusia 80 tahun masih ingat tampak kelenteng itu. Ia menunjukkan foto tempo dulu kelenteng itu.

Dick Halim: "Sekarang ini catnya baru.
baru. Ini klenteng jaman dulu. Masih belum diapa-apainlah. Pada tahun 1880. Ini asli. Gedung utama asli. Yang lain tambahan"

Rekan Halim, Sudarma yang kini berusia 50 tahun juga punya cerita serupa soal asal usul keluarganya. Sudarma: "Saya memang kelahiran Padang. Sudah setengah abad di Padang. Kakek saya punya orang tua, yang disebut kongconya sudah di Padang. Ibu saya punya orang tua itu dari Tiongkok asli. Jadi umur 12 tahun dia ikut orang tuanya ke Indonesia. Sebenarnya tujuannya bukan ke Indonesia. Tujuannya itu mungkin ke Filipina. Tapi karena diserang badai, terdampar di Bagan Si Api Api. Nah, terus berjalan, akhirnya sampai di Padang, menetap di Padang"

Dari Pariaman
Halim dan Sudarma termasuk generasi tua warga Tionghoa. Konon kabarnya, Tionghoa Padang sebenarnya berasa dari Pariaman, sebuah kabupaten di Sumatera Barat.

Kembali Sudarma. Sudarma: "Pertama kali dikunjungi adalah Pariaman, setelah datang ke Pariaman, karena pol bergeser ke Padang. Mulai pada jaman 1400 sudah ada orang Cina. Dulu banyak setelah gejolak, Cina pindah ke Bukit Tinggi, Batu Sangkar dll. Setelah Belanda masuk, Padang menjadi sentral"

Komunitas Tionghoa di Padang diperkirakan mencapai 12 ribuan orang. Kini, mereka membaur dengan masyarakat lokal, baik dari segi budaya mau pun agama. Misalnya dalam tradisi merayakan kelahiran anak mereka.

Kembali Dick Halim. Dick Halim: "Nasi purut itu dimasak dengan kunyit. Kunyit tidak dipake di Tiongkok, itu bahan lokal. Orang Tiongkok mana ada yang makan santan"

Inkulturisasi
Selain pembauran, kawin-mawin antara Tionghoa dengan suku lain juga terjadi di Padang. Hanura, aktivis muda Tionghoa.

Hanura: "Inkulturasi budaya berjalan baik, perkawinan Cina dan suku lain berjalan baik. Selain Minangkabau ada keturunan Arab dan India terbukti tidak pernah ada kerusuhan rasial di Padang. Baik pada masa orde baru, mau pun pada masa reformasi sekarang"

Pembauran dengan masyarakat lokal juga terjadi dalam atraksi budaya seperti latihan barongsai.

Generasi tua Tionghoa, Sudarma, bertutur tentang pembauran.
Sudarma: "Semangat lebih bersatu yang juga melibatkan pribumi. Atraksi barongsai dan wushu ada orang pribudi juga. Kalau Orde Baru pembauran seperti dipaksakan"

Komunitas Tionghoa Padang juga terkenal kompak. Ini karena dua organisasi sosial besar yang menaungi tujuh suku. Hanura, aktivis muda Tionghoa.
Hanura: "Kalau saya melihat, salah satu mungkin yang paling menonjol di negara kita yang tercinta ini bahwa perkumpulan sosial kemasyarakatan seperti Himpunan Bersatu Teguh, sama dengan himpunan Cinta Teman ini sepanjang yang saya ketahui, hanya satu-satunya yang ada di Indonesia. Tepatnya di kota Padang ini. Sebaliknya di tempat-tempat lain, organisasi sosial kemasyarakatan yang resmi dan terbuka seperti yang kami dapatkan di Padang ini tidak dapat ditemui di daerah-daerah lain di Indonesia"

Organisasi sosial itu mempererat hubungan antar warga Tionghoa di Padang, apa pun agamanya.
Yongki: "Nyaman. Yang penting kita bisa berbaur gitu. Kita sudah lahir dari sini. Muslim juga berbaur semuanya. Di HBT juga ada yang muslim. Campur semuanya. Kalau dulu enggak boleh, sekarang kan kita bebaskan aja.

Karena itulah, Yongki leluasa berkarya melatih generasi muda melestarikan salah satu budaya mereka, Barongsai. Upaya itu berbuah penghargaan kelas dunia.

Yongki: "Malaysia sering, ke Makau, ke Cina udah dua kali, ke Singapura, Hongkong dan Thailand terakhir. Makau dapat penghargaan nomor enam, terus di Hongkong nomor lima"

Tradisi leluhur
Seperti soal ibadah agama dan kepercayaan, komunitas Tionghoa di Padang juga memegang kuat tradisi leluhur. Dick Halim, sesepuh warga Tionghoa di Padang.


Dick Halim: "Perayaan orang Tionghoa masih diikuti umpamanya tarian naga, hincia, dulu ada hari raya pecun, perayaan dayung sampan"

Pendapat itu juga ditegaskan oleh Sudarma.
Sudarma: "Padang lebih kental menjalankan budaya, seperti pernikahan, tahun baru Imlek. Walau pun mereka tidak mengerti bahasa lagi"

Memang, walau tradisi tetap dipegang teguh, bahasa Tionghoa ternyata sudah tidak digunakan lagi. Ini diakui Sudarma yang berusia setengah abad lebih.

Politik masa lampau
Sudarma: "Karena di Padang orang Cinanya lebih sedikit dibanding kota lain. Kebanyakan orang Cina tidak bisa Bahasa Mandarin dan bahasa dialek lainnya. Di sini banyak orang Hokian. Generasi saya tidak bisa Mandarin dan Hokian"

Jangankan Sudarma, Dick Halim yang kini sudah 80 tahun saja sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa. Ia menggunakan bahasa campuran dengan bahasa lokal, Melayu Padang.

Orang muda di Padang memperkirakan, ini disebabkan politik masa lampau. Seperti dituturkan Hanura.

Hanura: "Karena sejak dulu penggunaan Bahasa Mandarin tidak dibiasakan keluarga. Ini pengaruih Orde Lama dan Orde Baru yang melarang budaya Tionghoa"

Walau tidak bisa melestarikan bahasa, Hanura yakin masih ada yang bisa diperbuat yaitu menjaga bangunan tua mereka.

Hanura: "Kemudahan dan pembinaan penduduk. Apa yang boleh dilakukan seperti memugar atau membersihkan dinding rumah pada hari2 tertentu sesuai tradisi"

Ia yakin, upaya itu akan menjadikan Kota Padang Lama obyek pariwisata.

Melestarikan bangunan tua
Sampai hari ini gedung-gedung tua dan tinggi itu memang tidak terurus. Malam hari sedikit penerangan. Emzalmi, Kepala Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Pemerintah Kota Padang mengaku sulit mengatur kawasan ini.

Emzalmi: "Di pusat kota kern kota lama aturnya gak mudah. Jalannya kecil-kecil. Bangunan jaman Belanda itu perlu dilestarikan untuk dijual jadi pariwisata. Pemiliknya banyak di rantau. Banyak yang jadi gudang"

Apa pun halangannya, warga Tionghoa berharap pemerintah daerah serius menanganinya.

Simak harapan kaum muda Tionghoa, Yongki.
Yongki: "Dirawat gedung-gedung tua, dicat sesuai aslinya. Di luar negeri seperti di Malaysia"

Yongki dan keturunan Tionghoa lainnya berharap sejarah mereka di Padang tetap terjaga dengan pelestarian daerah tempat tinggal mereka